Tiba-tiba saya
Todd Anderson, atau Neil Perry, atau keduanya sekaligus. Saya dan teman-teman
satu kelas berdiri di lorong perguruan asrama khusus lelaki, tepat di depan sebuah
lemari kaca yang memajang foto senior-senior kami. Foto tersebut lebih tua dari usia
kami. Saya mengamati foto para senior dengan penuh ketelitian. Mengamati lebih
detil garis wajah mereka, rahang mereka, sorot mata mereka, bibir mereka yang
dikatupkan. John Keating, guru kami, membisikkan sebuah kata Latin yang
berabad-abad lalu ditulis Horace dalam bukunya, The Opus: “carpe diem”. Kami
meresapi gaung kata itu dalam-dalam,
lalu menyadari, dari bibir para senior kami yang dikatupkan itu, ada suara-suara
yang minta ditemukan.
*
Suatu malam,
di tahun 2013, saya pulang ke Solo. Seusai tiba di
stasiun, saya pulang ke rumah menumpang becak. Saya beruntung karena becak yang saya tumpangi dikemudikan
oleh seorang tukang becak yang ramah. Sepanjang perjalanan saya diajak
bercerita panjang-lebar soal kehidupan dengan tukang becak ramah yang tak saya
tahu namanya dan tak ingin saya tahu namanya (saya sengaja tak menanyakan
namanya sebab semakin saya mengetahui identitasnya—meski tak akan seluruhnya—kelak
ketika mengingatnya saya akan menambah derajat bias ingatan yang sudah
kodratnya bias). Pendek kata, menanggapi hasil jerih payahnya hari itu, pak
becak yang ramah itu berujar “jenenge wong
cilik, mas. Bola-bali mung iso nerima lan nyadari nek nasib wis ana sing ngatur.”
(namanya orang kecil, mas. Berulangkali hanya bisa menerima dan menyadari
kalau nasib sudah ada yang mengatur).
*
Dalam diri
kita, ada dunia yang jauh lebih besar dari dunia di luar diri—dunia yang
sehari-hari dialami oleh panca indera kita. Tapi kita hanya terbiasa mengenali
dunia yang konkret tersebut. Karena sesuatu yang konkret mudah dipahami,
terukur, dan terasa lebih fungsional.
*
Jika kamu
mengetik kata “consciousness creates reality” di google, kamu akan menemukan
ribuan jurnal saintifik yang kira-kira kalau dibaca sambil naik kereta api
Jakarta – Banyuwangi, kita membutuhkan 10.267 bolak-balik. Ada yang mendukung,
mendebat, atau tak memihak sama sekali. Kamu bisa membaca-baca, menyimpulkan,
dan menyadari bahwa kamu menghabiskan waktu sekian banyak untuk menyadari
kesadaranmu sendiri. Tidakkah kamu sadar?
Kesadaran
menjadi ciri semua mahkluk hidup. Kesadaran membuat kita semua waspada dan peka
terhadap lingkungan sekitar, menerima, membedakan diri dari yang lain. Tapi hingga
saat ini, ahli saraf tak bisa menjelaskan apa dan bagaimana cara kerja
kesadaran. Orang-orang hanya meyakini kesadaran memiliki banyak jendela di mana
kita bisa melongokkan kepala dan melihat realitas dari pengalaman-pengalaman
masa lalu. Selama berabad-abad, para mistikus menggunakan
kerangka ini untuk menerangkan kesadaran yang tak/ belum bisa diukur.
*
*
Kita hidup di zaman yang gelisah.
Sebab hampir semua pertanyaan menyangkut ‘yang di luar diri’ sudah terjawab dan
hanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan perihal ‘yang di dalam diri’. Karena
mungkin pertanyaan tersebut memang tak akan pernah usai dijawab.
*
Berbagai praktek olah-jiwa yang populer
akhir-akhir ini menitikberatkan pada potongan-potongan kesadaran yang saya urai
semau saya di atas. Praktek-praktek tersebut mengajak kita ‘pulang’ ke tempat
kita, mematuhi keberadaan kita, memahami momentum ‘yang datang’ dan ‘yang pergi’,
bersabar, menunggu yang akan tiba, merelakan yang tak dimiliki, mensyukuri kepunyaan,
merayakan ‘kini’, memaknai setiap detik hidup kita, dan puisi berangkat dari
kesadaran semacam itu. Penyair Amerika, Muriel Rukeyser, mengatakan: “sebuah
puisi yang bagus mengundangmu membawa seluruh hidupmu untuk saat itu.” (AI)
(*) Di akhir bulan ini, saya akan berkolaborasi
dengan Adjie Silarus, praktisi meditasi yang menitikberatkan pengajaran pada mindfulness,
atau meminjam bahasanya: ‘sadar penuh hadir utuh’. Di sesi ini, saya akan membagikan pengalaman
saya dalam menulis puisi, interaksi saya dengan kata-kata, dan saya akan memintamu menulis puisi. Jika kamu berminat untuk hadir—sekaligus merayakan ‘kehadiran’mu—kamu
bisa mendaftarkan diri sesuai dengan keterangan yang tertera di e-flyer ini.
No comments:
Post a Comment