KUNYIT. Kau tak
seharusnya mengeluh, sebab kecantikanmu bisa memilih takdirnya sendiri.
Sekitar satu jam, kau menghadapi kebisuan cermin. "Ah, aku seperti
petani jerawat." Aku hendak mengiyakan, tetapi naluriku menahan mulutku.
Sebab jika kukatakan ya, selama sejam berikutnya, kita akan mendebatkan
apa fungsi kurkumin, apakah hanya memberi efek kuning, atau memudarkan
pening. "Ia seharusnya hanya lebur di gulai, tak mungkin aku memungutnya
bagi wajahku", tambahmu. Padahal kau bisa memulaskannya pada garis-garis waktu yang melintang di kulit dan lehermu. Padahal aku pun lupa khusuk mana antara menyantapnya atau menatapmu.
LADA
HITAM. Sebab hari terlanjur malam ketika kita memulai pembicaraan, tapi
bukan berarti kecantikanmu tak bisa bertaruh peruntungan. Malam hanya
bukan waktu yang tepat untuk naik pitam. Maka kuniatkan: "tumbuk saja ia
yang legam, oleskan di wajahmu. Niscaya lembah di wajah sewarna daging
apel yang dihasut udara itu tak lagi didera sindiran para remaja. Selama
beberapa menit kau terdiam, bahasa seperti mengelupas, yang tersisa
tinggal kepasrahan-kepasrahan yang belum disudahkan.
CENGKIH.
"Kecantikan tak seharusnya menyiksa seperti ini!" Lalu kau mulai
terisak dan merintih, sementara aku sibuk merumuskan cara agar kecemasan
segera terlontar dari wajahmu yang seperti tak kuat menanggung pedih.
Aku teringat riwayat penanaman awal tahun, yang membuat orang-orang
dataran tinggi menjelijih. Derita juga mampu menghitamkan alis mata. Kau
bisa bakar bunganya dan campurkan dengan kemiri, sapukan pada alis,
sapakan pada mukhalis. Damai itu: malaikat yang bertamu ke matamu tiap
subuh dan petang hari.
ADAS.
Setelah berjam-jam sesudahnya, kau tersadar juga bahwa kecantikan
adalah ilusi, sementara yang nyata adalah upaya-upaya mempertahankannya.
Ketika mengucapkan itu pipimu tampak merona, seperti ada kelegaan baru
yang mengintip dari balik kulit. Maka kuhadiahkan pada padang pipimu:
beberapa biji adas, yang kurenggut dari dataran
padas. Kulit wajahmu cukup hanya dibilas sebagai cara membalas kemampuan
bertahanku dari sesak tak terganggungkan setelah mengetahui bahwa
kerut-kerut wajah itu dipahat pria sebelum diriku.
JAHE.
Hari mulai menjelang pagi. Benang-benang matahari mulai merambati
jendela. Segelas teh terbayang ingin kuseduh, kau pun tak lagi tersedu
karena bintik-bintik merah pengundang aduh. Aku teringat, rimpang ini,
juga bisa mencerahkan kulit yang kerap mencurahkan tangis berjam-jam
tanpa tahu kapan berhenti kapan harus berganti. Kita berpandangan, lalu
tiba-tiba aku ingin membesuk diriku yang hampir kulupakan di dalam
tubuhmu. Tiba-tiba aku seperti tak peduli wajah siapa yang berusaha
mengekalkan kecantikan itu. "Kekasih, bagaimana pun wajah bopeng jauh
lebih cantik ketimbang mulus topeng."
- Solo, 2013
rahasia sederhana untuk kecantikannya -dan tulisan yang lain- bagus. suka. terus berkarya ya, sukses mas! :)
ReplyDeletehttp://splashurl.com/lwppqbo
ReplyDeletetulisanya bagus mas. tp kok aku gak mudeng ya ?
ReplyDelete:)
ReplyDelete